Aku termangu menatap teman-temanku yang berbaris rapi dan terlihat gagah dengan seragam pramukanya. Seandainya aku memakai seragam pramuka, tentu aku juga segagah mereka. Di sekolah hanya aku yang belum memakai seragam pramuka.
“Ari. Kenapa kamu diam di situ? Ayo kemari. Kamu cepat berbaris.”
“Iya, Pak.”
“Kenapa kamu masih belum pakai seragam pramuka?”
“Bapak saya belum beli, Pak.”
“Ya, udah, kamu sekarang ikut barisan. Sabtu depan harus sudah pakai seragam, ya?”
Aku hanya diam. Rasanya setiap Sabtu tidak ingin masuk saja. Aku sering merengek kepada Bapak, tapi jawabannya hanya iya-iya, nanti kalau sudah punya uang dibelikan.
Sabtu itu, kegiatan di sekolah sangat padat. Jam 12 siang sepulang sekolah aku letih sekali dan perutku terus berbunyi minta diisi. Aku berangkat ke sekolah tanpa sarapan, karena Bapak yang bekerja sebagai pemecah batu tidak membawa uang sama sekali. Jadi Emak hanya memasak nasi sisa beras kemarin yang dibeli dari kelurahan yang hanya cukup untuk makan sore.
“Kenapa kamu ini. Sakit?”
“Tidak Pak.”
“Kamu kok lemas seperti tidak bertenaga?”
“Saya hanya capek.”
“Ya udah. Untuk latihan pramuka hari ini, kamu boleh pulang duluan.”
Jarak dari sekolah ke rumahku sekitar dua kilo meter. Setiap hari aku menempuhnya dengan berjalan kaki. Aku tidak ada uang untuk naik angkot. Sejak kelas satu hingga sekarang kelas enam, aku terbiasa berjalan kaki pergi-pulang dari rumah ke sekolah.
Pukul lima sore, aku pulang dengan baju basah oleh keringat. Kulempar tubuhku yang kelaparan ke kursi kayu yang sudah terlihat lubang-lubang bekas dimakan rayap. Aku berjalan ke meja tempat Emak menaruh makanan. Kubuka tempat nasi. Tak ada sebutir nasi pun.
“Mak. Mak. Aku lapar. Mana nasinya Mak?”
Aku terus berteriak mencari Emakku. Aku berlari ke belakang rumah, ke rumah tetangga. Emakku masih belum juga terlihat. Dengan lesu kubaringkan badanku ke bale kayu. Tak terasa aku tertidur dalam kecapean dan kelaparan.
“Nak bangun. Ganti dulu seragam sekolahmu. Nanti kusut.”
Suara lembut samar-samar terdengar di telingaku. Kubuka mataku dan kulihat Emak sudah berdiri di sebelahku sambil membelai rambutku.
“Mak, Ari lapar mau makan.”
“Iya nak. Emak baru masak bubur. Makan bubur aja ya. Kalau dibuat nasi, berasnya tidak cukup untuk bertiga.”
Aku mengangguk. Aku sudah paham. Bapak pasti hari ini pulang tidak membawa uang. Sehabis makan bubur aku pergi ke tempat mangkal angkutan umum. Aku bekerja membersihkan mobil-mobil di sana. Satu mobil upahnya Rp2.000,00. Biasanya sehari aku dapat membersihkan dua mobil. Uangnya kupakai untuk keperluan sekolah dan jajan. Kadang Ibu kukasih buat beli beras. Kalau ada sisa aku menabungnya untuk membeli seragam pramuka.
“Terima kasih Pak. Aku dapat seragam pramuka. Hore! Hore! Aku punya baju pramuka. Kini aku kelihatan gagah seperti teman-teman.”
Aku senang sekali. Aku berdiri di barisan paling depan dengan seragam pramuka. Aku sengaja meminta Emak untuk tidak mencucinya, biar bau baju baru yang dibeli Bapak masih melekat. Dan teman-teman dapat menciumnya. Aku tak henti-henti melihat ke baju yang kupakai.
“Ari, ayo bangun. Sudah siang. Nanti kamu terlambat.”
Aku tiba di sekolah dengan terengah-engah. Aku langsung mengetuk pintu.
“Ari kenapa kamu terlambat?”
“Bangunnya kesiangan, Pak.”
“Lain kali kamu jangan tidur malam-malam.”
Di dalam kelas aku hanya konsentrasi ke mimpi semalam. Mimpi mendapat seragam pramuka masih terbayang-bayang. Seandainya kenyataan, aku senang sekali.
Sepulang dari sekolah aku mengambil celengan. Lalu kupecahkan. Kuhitung uang tabungan satu per satu. Ternyata jumlahnya ada Rp12.500,00. Aku yakin uangku cukup. Aku bergegas ke pasar mencari pedagang seragam pramuka. Di tengah perjalanan, dari arah berlawanan ada seorang anak kecil dikejar-kejar oleh tiga orang preman. Ia kecil berlari ke arahku.
“Kak tolong. Tolongin aku. Mereka orang jahat.”
“Aku harus gimana?”
“Tolong bawa aku kemana aja.”
Belum sempat aku membawa anak itu, ketiga orang preman itu sudah dekat. Tanpa bilang apa-apa mereka memukulinya.
“Bang, jangan bang. Kasihan.”
“Hei siapa luh. Mau dipukul juga?”
Tiba-tiba ketiga orang itu pun memukuliku. Uang yang ada di dalam kantongku berhamburan. Sambil memegangi muka aku berusaha memunguti uang itu. Tapi preman itu mengangkat dan melemparku. Mereka memunguti uang itu. Aku hanya mengerang memohon agar mereka mengembalikan uangku. Mereka dengan tertawa-tawa membawa uangku.
“Lain kali. Luh jangan sok jago. Sekarang rasakan sendiri akibatnya!”
Dengan tertatih-tatih aku berusaha kembali pulang ke rumah. Di rumah Emak sangat kaget.
“Nak, kamu ini kenapa?”
“Saya jatuh Mak. Gak apa-apa kok.”
“Sini Emak kasih obat merah ya.”
Aku pergi mengambil air wudu, lalu sembahyang. Aku berdoa kepada Tuhan.
“Tuhan. Setiap hari aku berdoa kepada-Mu. Sebelum dan seduah tidur. Aku sangat ingin punya seragam pramuka. Tuhan tolong aku. Tolong berikan seragam pramuka. Aku tidak bisa membeli karena uangku diambil orang jahat.”
Pagi itu semua siswa berkumpul di lapangan berbaris rapi. Aku masuk pada barisan ketiga. Bapak kepala sekolah membacakan pidatonya.
“Anak-anak selamat pagi! Hari ini ada kabar gembira. Sekolah kita akan mengirimkan utusan untuk mengikuti lomba matematika dan IPA tingkat kotamadya. Pada kesempatan ini, sekolah kita akan mengirimkan Ari untuk ikut perlombaan.”
Aku sangat terkejut dengan ucapan kepala sekolah. Aku tidak pernah menyangka untuk jadi wakil dari sekolah. Aku pun segera menghadap ke kantor kepala sekolah.
“Ari selamat ya. Kamu harus berjuang untuk sekolah kita. Nah ini ada hadiah dari sekolah buat kamu. Jangan lupa besok kamu harus sudah siap.”
“Baik Pak. Terima kasih Pak.”
Aku segera bergegas ke luar. Aku sangat penasaran hadiah apa yang diberikan oleh kepala sekolah. Aku berlari ke belakang sekolah mencari tempat sepi. Aku segera merobek hadiah itu. Aku terkejut. Sepasang seragam sekolah merah putih dan seragam pramuka ada di depan mataku. Aku bersorak kegirangan. Kudekap erat seragam itu. Oh bahagianya hidupku. Terima kasih Tuhan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar